ANAK BAJANG *
Oleh: Swarin
“Anak
ini harus diruwat kelak,” bisik Sarti kepada lelaki yang berbaring di
sampingnya. Sarti baru saja menidurkan anaknya yang belum lagi bersekolah.
Lelaki itu, yang tak lain adalah suami Sarti hanya mengangguk. Matanya tak
lepas memandang beberapa helai rambut anaknya yang berbeda dengan rambut di
belahan kepalanya yang lain. Beberapa helai rambut itu gimbal.
“Do’akan
saja biar lancar rejeki, dik.”
^^
Tahun-tahun
berlalu sejak percakapan suami-istri itu terjadi. Tidak ada perubahan drastis
yang menimpa mereka selain kedua orang tua itu makin memperlihatkan kerut dan
anak itu tumbuh menjadi anak lelaki berbadan gempal.
“Pokoknya
Danang mau mainan itu!” Teriakan itu berbuntut pada suara pecah yang nyaring.
Vas bunga yang terpajang di meja ruang tamu. Anak berbadan gempal itu berdiri
di sudut ruangan, siap melemparkan satu vas lagi.
“Iya,
iya, sayang. Nanti ibu belikan. Tapi tolong jangan kau pecahkan lagi vas atau
apapun yang ada di ruangan ini.” Dari arah dalam, seorang perempuan tengah baya
berlari tergopoh-gopoh. Suaminya sedang bekerja di ladang. Ibu itu segera
meraih Danang dalam pelukannya. Dielus-elusnya rambut anak lelaki kesayangannya
itu.
“Le, ibu janji, besok kalau panenan
bapakmu berhasil dan laku, ibu akan belikan kamu mainan itu. Lebih bagus dan
lebih keren dibandingkan dengan milik teman-temanmu.” Perempuan itu, Sarti,
mencium kedua belah pipi Danang. Biarlah air mata keduanya bercampur. Danang
mereda. Ia masuk ke kamarnya dan segera saja terlelap. Mungkin ia terlalu capek
merangkai mimpinya untuk memiliki mainan itu. Mainan yang saat ini sedang marak
melanda masyarakat desa ini. Mainan yang mampu menghipnotis semua kalangan
usia, tak terkecuali Danang yang bahkan masih belum mengerti betul untuk apa
mainan itu diciptakan. Sarti tahu betul, Danang hanya suka dengan bentuk mainan
itu dan sekaligus sebagai pembuktian. Pembuktian kalau Danang juga bisa
memiliki mainan seperti teman-temannya. Tak kalah keren. Dan lantas mainan itu
menyita semua perhatian warga, di arena balap. Ya, masyarakat desa ini sedang
digandrungi oleh mainan yang bernama tamiya.
Sarti
kembali membelai pipi Danang, mengusap sisa air mata yang membekas di pipi anak
yang belum lagi genap berusia enam tahun.
“Anak
itu lare gimbal. Kau tak boleh
main-main dengannya.” Sebuah suara yang dalam sekejap merangsek dalam otaknya.
“Ti,
separuh dari ladang kita gagal panen. Aku takut kalau kita sudah kehabisan
persediaan untuk kehidupan kita.” Suara suaminya menggantikan. Perbincangan
yang baru tadi pagi terjadi. Pagi buta, sebelum sang suami berangkat ke medan
laga untuk mengusahakan separuh sisa ladangnya.
“Tapi
Danang mau mainan itu sekarang!” Berganti lagi suara Danang. Rengekan memelas
yang keluar dari mulut Danang di sela isaknya. Baru saja terjadi. Sarti makin
bingung. Tak mengerti mengapa suara-suara itu menyerang dan menyudutkan
dirinya. Sendiri dalam tangis. Gelap dalam pengap.
Anak
itu berambut gimbal. Anak itu anak bajang. Tak banyak anak bajang seperti
Danang, tapi ia bukanlah satu-satunya di desa itu. Sebenarnya tidak ada yang
salah dengan rambut gimbal. Jika seseorang tidak suka dengan rambut gimbal yang
tumbuh di kepalanya, potong saja rambut itu lalu dengan begitu masalah akan
beres. Rambut di kepalanya kembali normal, tidak ada sehelai pun yang akan
tumbuh gimbal lagi. Tapi tidak demikian adanya jika itu terjadi di desa ini.
Ketika kau menemui beberapa helai rambutmu yang gimbal, dan kau memotongnya,
rambut gimbal itu akan tumbuh lagi dengan sendirinya. Bahkan ketika kau sudah
memastikan bahwa rambut gimbal itu sudah tercerabut hingga ke akar-akarnya.
Rambut gimbal itu bukan sembarang rambut. Ia adalah rambut titisan.
Anak
bajang adalah titisan seorang Kiai yang dianggap membuka desa ini untuk yang
pertama kalinya. Kiai itu bersumpah tidak akan memotong rambutnya yang gimbal
dan tidak akan mandi sebelum desa yang ia tempati ini menjadi makmur. Sang kiai
pun melaksanakan sumpahnya dan sebelum akhir hayatnya, ia menitip pesan. Kelak
akan lahir keturunan-keturunannya. Anak berambut gimbal. Anak yang akan membawa
kemakmuran dan keberkahan untuk desa ini.
Anak
bajang adalah anak kesayangan sang kiai. Sebagaimana anak kesayangan, segala
sesuatu yang menjadi permintaan anak itu haruslah dikabulkan. Jika tidak, maka
petaka lah yang akan melanda desa itu. Inilah yang merisaukan Sarti belakangan
ini. Sesuatu tarik-menarik dalam dirinya.
Sarti,
sebagaimana seorang ibu lainnya, ia teramat bangga dapat menyaksikan buah
hatinya bertumbuh. Sarti, sebagaimana pula seorang ibu dari anak berambut
gimbal, diam-diam menginginkan anaknya tidak bertambah usianya. Cukup bayi
saja. Karena orang tua seperti Sarti dan suaminya mungkin tak akan kuat dengan
seorang anak yang bertumbuh besar dengan segala keinginannya.
Dentang
jam di ruang tengah itu mendadak seperti bersuara lebih keras dari biasanya.
Ya, mau tak mau, waktu memang tetap pada hukum konsensus perputarannya, tak
pernah bisa dihentikan. Dan, mau tak mau pula, jarum jam yang hanya ada satu di
rumah itu segera saja menunjuk pada satu angka. Angka penanda suami Sarti
segera pulang. Dan pecahan vas itu masih berserakan di ruang tamu. Sarti
bergegas.
Dan
bayangan tubuh kekar suaminya muncul. Keriut derit suara pintu itu semakin
parah. Sarti menghampiri suaminya yang basah oleh peluh. Dengan seutas senyum,
ia pinta cangkul yang bertengger di pundak suaminya dan meletakkan pada
tempatnya. Lelaki itu pun tersenyum, menyeka peluh dan berangin-angin di beranda
rumah.
“Bagaimana,
Mas?”
“Aku
sudah pasang umpan. Nanti malam aku dan beberapa warga akan berjaga. Kalau
tikus-tikus itu berhasil masuk perangkap, minggu depan kita panen. Lalu kita
bisa menuruti permintaan Danang.” Mereka tersenyum.
^^
“Le, sini sebentar, Le. Bapak punya hadiah buat kamu.” Lelaki itu pulang dari ladang
lebih awal dari biasanya. Anak lelaki bertubuh gempal yang dipanggil itu
berlarian dengan semangat. Ia baru saja bermain di belakang rumah dengan
ibunya. Seperti biasa, karena Danang tak punya teman. Sarti yang mendapati
anaknya begitu girang pun bingung. Suaminya tengah berdiri tak jauh darinya,
mengacung-acungkan sebuah bungkusan dengan wajah sumringah. Sang suami sempat
mempermainkan anaknya itu hingga tertawa-tawa gemas.
Danang
berhasil menjangkau bungkusan itu dari tangan bapaknya. Dan segera saja matanya
membulat. Mainan kebanggaan itu kini ada di tangannya. Tamiya. Danang kembali
berlarian menuju lapangan desa, tampat di mana teman-temannya yang lain
berkumpul, mengerubuti sesuatu. Kini Danang ada di antara mereka, beradu
kecepatan dengan tamiya yang lain.
“Danang
curang!” Seru seorang anak ketika tamiya baru milik Danang berhasil mencapai
garis finish pertama kali.
“Nggak!
Aku menang!”
“Heh,
anak kecil nggak boleh menang!” Teriakan itu disambut dengan tawa dari
anak-anak yang lain. Mereka pun melempari Danang dengan kerikil. Sontak, Danang
menyerang mereka. Dipukulnya satu-per satu, mereka yang melemparinya dengan
kerikil.Beberapa orang dewasa melerai dan memarahi Danang. Danang terduduk
menangis. Ternyata mainan tak jua membuat ia diterima sebagai teman oleh
anak-anak yang lain. Danang tak butuh tamiya itu. Ia hanya butuh dihargai oleh
teman-temannya.
“Sudah,
jangan dekat-dekat sama anak nakal, bisa kena kutukan nanti kita!” Mereka
beramai-ramai menjauh dari Danang, menuju sudut lain lapangan. Danang
memandangi punggung mereka dengan masam. Kemudian melangkah gontai dengan
tamiya yang tergolek di genggamannya. Pulang.
Danang
kembali sendiri. Memainkan tamiya barunya di halaman belakang rumah. Sarti
melongok dari arah dapur. Suaminya sudah kembali ke ladang. Semenjak menemukan
cara membasmi tikus-tikus itu, ia semakin giat mengolah ladangnya. Tujuan
terdekatnya hanya satu: Danang. Sarti pun demikian, ia selalu mendukung apa saja
yang dilakukan suaminya, demi Danang. Sarti bergegas menyelesaikan masakannya.
Ia ingin menemani anaknya bermain. “Semoga kita cepat dapat rezeki, biar kamu
bisa cepat diruwat, Le,” desis Sarti
sembari mematikan api di tungku, menyisakan bara menyala saga.
Anak
bajang. Sarti tahu apa yang baru saja terjadi dengan anaknya di lapangan tadi.
Dan Sarti sudah tidak lagi terkejut dengan hal-hal semacam ini. Ia mafhum.
Tentang siapa anaknya. Tentang siapa dirinya. Tapi Sarti tetaplah seorang ibu
yang geram ketika anaknya menjadi bahan olokan. Sekalipun anak berambut gimbal
disebut-sebut sebagai anak titisan yang membawa keberkahan, bukan berarti
hidupnya berlimpah kemuliaan. Justru sebaliknya. Sebagaimana kita memperlakukan
seseorang yang mulia, demikian pula dengan Sarti dan suaminya. Mereka akan
menuruti apa saja permintaan Danang. Mereka percaya petaka akan datang jika
membantah permintaan anak titisan itu. Tak bisa disalahkan memang, jika Danang
kemudian tumbuh menjadi anak yang manja dan cenderung nakal. Dan orang-orang
menganggap anak rambut gimbal membawa petaka, sebelum diruwat.
Ya,
ruwatan. Membersihkan segala sukerta
atau petaka yang menempel pada diri seseorang. Agar hidupnya kembali normal.
Agar hidupnya mendapatkan keberkahan. Anak bajang haruslah diruwat untuk
menghilangkan petaka itu. Rambut yang gimbal itu harus dipotong dengan
serangkaian upacara dan rapalan doa-doa.
Sarti
dan suaminya hampir sampai pada titik itu. Bertahun-tahun mereka berusaha
mengumpulkan uang dan menekan pengeluaran. Hanya untuk biaya ruwatan Danang.
Sarti membuka lipatan kain di mana ia biasanya menyimpan uang.
“Le, ibu akan menemui bapakmu sebentar di
ladang. Hati-hati di rumah.” Sarti menggenggam bungkusan kain itu. Menuju
ladang, meminta suaminya berhenti bekerja untuk beberapa menit saja. Lelaki
yang masih bermandi peluh itu terdiam. Cangkul ia sandarkan pada pohon
tempatnya terduduk kini. Sorot matanya tak bisa ditebak. Redup, berkaca-kaca,
dan mendadak berkilat tekad. Berdua dengan Sarti, ia lantas mendatangi rumah
Pak Lurah. Sore itu juga.
Matahari
menyapukan sisa-sisa lembayung di barisan horizon. Suami istri itu melangkah
menantang sorotnya. Bungkusan kain yang di bawa Sarti kini hanyalah selembar
kain. Isinya menjelma semangat dan rapalan harapan di benak mereka. Dan ketika
didapatinya Danang masih bersendiri memainkan tamiya barunya, suami-istri itu
bergantian memeluknya penuh kasih. Bahkan memain-mainkan rambut gimbalnya.
Kebersamaan mereka dengan rambut itu hanya tinggal seminggu. Setelah itu tak
pernah lagi. Danang si anak bajang akan diruwat. Sarti dan suaminya berharap
kelak anaknya menjadi sosok yang benar-benar mulia dan membawa keberkahan bagi
siapa saja yang berada di dekatnya.
^^
Jogja, Juni 2012
*Anak bajang adalah mitos yang beredar pada
masyarakat yang tinggal di kawasan dataran tinggi Dieng. Hingga sekarang, anak
bajang berambut gimbal masih terlahir dan mitos tersebut masih dipercaya.
Label:
Cerpen
Diberdayakan oleh Blogger.
Posting Komentar