Kalo Jodoh Nggak Bakal Kemana Mameennn!!
Saya sering
heran dengan beberapa teman. Dulu, saya punya teman kost yang begitu rajin
sekali “berbakti” pada –saat itu- calon suaminya. Setiap pagi habis shubuh
sudah ribut ke pasar. Kebetulan kos kami dekat dengan pasar Demangan. Pulang
dari pasar langsung masak. Itu semua demi. Demi si dia yang setiap pagi sebelum
berangkat kerja mampir ke kos buat sarapan. #Tepok jidat. Saya nggak habis pikir.
Kok mau?
Tidak cukup
sampai disitu, tidak sekali saya melihat dia mencuci celana panjang laki-laki.
Dengan insting kepo saya yang ruaar biasa, saya reflek nanya, “Lho, itu punya
siapa?”. Dengan santai sekali dia menjawab, “Punya Aa’” dan saya hanya bengong.
Kok mau?
Bukan saya kalau
nggak kepo. Saking rajinnya dia masak buat si dia, saya penasaran uang siapa
yang untuk beli kebutuhan. Bertanyalah saya kepadanya, “Emang kalau belanja,
pakai uangnya siapa?”. “Uangnya dari Aa’. Kan lagi latihan jadi istri yang baik”.
#TepokJidatLagi.
Kalau Cinta Emang Harus Gitu Ya?
Saya beneran
nanya lho. Emang kalau cinta musti dibuktiin kayak gitu ya? Soalnya hal yang
saya yakini tidak begitu. Apakah kita beda keyakinan? #eh. Atau jangan-jangan
saya nggak pernah jatuh cinta ya? :D. Jadi teringat teman saya yang sering
menanyakan hal yang bernada sama, “Pernah suka sama orang nggak sih?”.
Ceritanya teman saya itu geregetan karena saya tidak pernah bisa bersikap manis
kepada lawan jenis. Hihihhi.
Balik ke tema
awal. Apakah cinta harus dibuktikan dengan cara yang menurut saya sangat tidak
manusiawi untuk perempuan. Belum juga jadi apa-apanya sudah harus masakkin tiap
pagi dan malam. Harus mencucikan baju-bajunya. Pagi bawa cucian kotor, besok
sudah rapi, wangi tersetrika. Lalu bedanya kita dengan tetangga sebelah yang
buka warung dan kios laundry apa? Datang lapar dan kumel, pulang kenyang dan
wangi. Oh, gals, come on! Mari buka kacamata kuda.
Kadang cinta itu
harus dilogikakan. Kalau tidak, maka yang terjadi adalah nafsu dan –katanya-
perasaan yang merajalela. Bahasa kasarnya diperbudak perasaan. Nyaman memang,
ada yang memperhatikan. Adem rasanya kalau ada yang setiap hari mengirim pesan
untuk sekedar nanya, “Sudah makan?”. Rasanya nyeesss, lalu pipi bersemu merah. Tapi
please, apa hatimu senyaman itu? Ketika semua perhatian itu datang dari orang
yang bisa meninggalkanmu kapan saja? Lagi pula, kalau kayak gitu doank mah,
sahabat-sahabat kita juga bisa.
Ada juga yang
lebih unik dari cerita diatas. HTS alias hubungan tanpa status. Teman tapi
setiap hari nggak pernah absen buat berkirim pesan. Sekedar memastikan dia
baik-baik saja. Duh please ya saudariku, cintaku, sayangku (karena Allah), dia
tidak sedang di Palestina yang kapan saja bisa syahid. Lagi pula saya yakin
pemuda muslim Palestina pasti lebih gagah untuk menemui guru ngajimu agar
segera diproseskan. Bukan dengan mendekatimu secara perlahan.
Biasanya mereka
yang seperti ini sadar. Tahu ini salah. Tahu ini nggak baik. Sadar dengan
sepenuhnya bahwa ini godaan syetan. Tapi tetap menikmati. Padahal as you know,
tidak ada syetan manapun, mau itu syetan lokal atau impor, mau disalahkan
karena berhasil menggodamu. Salah sendiri tergoda. Salah sendiri menikmati itu.
Nah, rugi di bandar kan.
Banyak dari kita
termasuk saya yang –na’udzubillah- sering mencelupkan diri dalam hal fasiq.
Orang fasiq itu, percaya akan janji Allah. Percaya dengan sepenuhnya. Tapi nggak
meyakini. Masih saja menyerempet ke hal yang jelas-jelas bikin rugi bandar.
Sejenis
orang-orang yang percaya bahwa Allah sudah menyiapkan pasangan untuk
masing-masing makhluknya. Tapi masih saja nggak percaya kalau bisa dipertemukan
dengan cara yang baik. Jadi bagaimana pun caranya, sudah ada si dia yang
disiapkan. Tinggal kita mau menggunakan cara yang baik atau yang tadi, bikin
rugi bandar. Namanya Jodoh itu kalau sudah jodoh nggak bakal kemana mameenn!
Suer! Sumprit!
-Semua Pilihan Ada Padamu-
Jogja, 6 Mei 2014
|9.45|
Endorfin
Label:
Opini
Diberdayakan oleh Blogger.
Posting Komentar