RUWAT*

By: Swarin
http://www.indonesia.travel/public/media/images/upload/ceritanegeriku/50ab6b9e17027.jpg


“Mas, ayo, kita harus segera bersiap-siap. Nanti keburu telat,” bisik Sarti di telinga suaminya yang masih asyik mengenyam mimpi. Lelaki setengah baya itu hanya menggeliat. Mulutnya menggumamkan sesuatu yang tak jelas. Sarti mencubit pipi suaminya. Lelaki itu terbelalak mengaduh dan segera saja didapatinya Sarti tengah tersenyum genit tepat di hadapan kedua matanya. Dikerjap-kerjapkan matanya. Kokok ayam belum lagi memecah pagi.

“Ah, masih terlalu pagi.” Lelaki itu menarik tangan istrinya, mengajaknya kembali berbaring di sampingnya.

“Terlalu siang, Mas. Hari ini Danang akan diruwat, bukan?” Sarti ganti menarik tangan suaminya, mengajaknya untuk bergegas.

“Apa? Ruwatan? Ah, ya, betul. Ayo, kita bersiap! Danang sudah bangun?” Sarti tidak menjawab. Ia melangkah ke kamar anaknya.
#
Suasana di rumah Mbah Sholeh telah ramai. Ada sekitar 7 anak berusia balita hingga kelas 2 sekolah dasar menaiki kereta kelinci bersama orang tua mereka. Danang dan orang tuanya ada di antara mereka. Di depan mereka deretan sesepuh desa dan para warga berjalan berarak membawa sesaji. Bulatan-bulatan tampah besar berisi gundukan tumpeng dan berbagai macam lauk pauk menghiasi setiap tepiannya. Tak ketinggalan juga jajanan pasar, seperti lemper, apem, dan semacamnya. Beberapa orang warga lainnya mengusung tampah berisi berbagai macam benda dan makanan yang merupakan permintaan dari anak berambut gimbal yang akan diruwat. Terselip di antara berbagai benda itu, tampak sebuah mainan berbentuk mobil-mobilan milik Danang. Tamiya. Itu permintaan terakhir yang Danang ucapkan sebelum mendaftar untuk ruwatan.

“Mainan Danang kelihatan paling bagus ya, Bu,” celoteh Danang kepada ibunya yang duduk tepat di sampingnya, di atas kereta.

“Iya, Le. Seneng to?” sahut Sarti. Perempuan paruh baya itu tak kuasa menyembunyikan senyumnya. Ia teramat bahagia. Arak-arakan masih berlanjut. Berangkat dari rumah Mbah Sholeh berjalan mengelilingi desa. Sarti menoleh ke belakang. Tepat di belakang kereta yang ia tumpangi bersama suami dan anaknya, iring-iringan berbagai kesenian daerah ditampilkan. Kereta Danang memang berada paling belakang dari deretan kereta pembawa anak berambut gimbal. Tentu saja, Sarti mendaftarkan anaknya tepat pada hari terakhir. Setelah ia yakin akan menggunakan uang simpanan yang tersisa untuk meruwat Danang.  

Puluhan orang itu menampilkan kesenian reog, tari wayang orang, kuda kepang, tek-tek bambu, barongsai, dolalak, dan marching band. Sementara di tepi kanan dan kiri jalan, ratusan bahkan ribuan orang memadati sepanjang jalan desa. Wartawan ataupun sekedar wisatawan yang menyempatkan untuk hadir berusaha mengabadikan moment tersebut, mencari sudut-sudut artistik dengan kameranya. Para penampil kesenian tradisional itu berhenti di titik-titik tertentu untuk menampilkan berbagai atraksi yang memukau. Riuh penonton bersorak-sorai. Ada yang melotot. Ada yang bertepuk tangan dengan wajah berbinar. Ada yang nyinyir karena tidak bisa melihat dengan jelas, terselip di antara tubuh orang-orang. Dan ada tangisan anak kecil yang kakinya terinjak. Sesak.

Mentari sepenggalah ketika mereka memasuki kawasan Goa Gangsiran Aswatama. Musik yang bertalu-talu mengiringi kesenian tradisional berangsur-angsur memelan, hingga berhenti tepat di depan Sumur Maerokoco.

“Assalamu’alaikum” Ucapan salam terdengar serentak. Di barisan paling depan, tampak Mbah Sholeh meracik sesuatu ke dalam wadah yang terbuat dari anyaman daun. Ia meletakkan racikan itu tepat di sisi sumur. Mbah Sholeh duduk tegak bersila. Matanya terpejam. Suasana hening seketika, lima hingga sepuluh menit.

Dari kereta paling belakang, Danang berjinjit berusaha untuk menonton apa yang dilakukan sesepuh desa itu.

“Sssh, duduk saja, Le,” bisik ayahnya. Danang merengut tapi tak urung jua ia turuti apa kata ayahnya. Biar berjingkat bagaimana pun, ia tetap tak bisa melihat karena terhalang puluhan orang yang ada di depannya.
Mbah Sholeh membuka matanya. Dengan satu gerakan berwibawa, ia mengambil air dari sumur itu menggunakan gayung. Gayung khusus yang terbuat dari bathok kelapa. Ia memanggil satu per satu anak berambut gimbal yang akan diruwat. Setelah semua anak berkumpul di dekatnya, Mbah Sholeh membasuh muka anak-anak berambut gimbal itu dan memercikkan air beberapa kali di kepala anak-anak itu. Air yang ada di Sumur Maerokoco ini dianggap sebagai mata air suci tertua di Dieng. Sebelum rambut anak gimbal dipotong, anak berambut gimbal haruslah disucikan.

Mbah Sholeh selesai. Ia merapal doa, meminta doa restu. Ia memimpin arak-arakan melanjutkan perjalanan. Tak jauh di depan sana, sebuah candi berdiri kokoh. Candi Arjuna. Di pelatarannya, deretan sesaji dan barang-barang permintaan anak berambut gimbal sudah berderet di depannya.  Boneka, jajanan anak-anak, layangan, gundu, dan tamiya milik Danang tertata manis di sana. Ketujuh anak berambut gimbal menatap barang-barang permintaannya itu dengan sorot mata tak sabar. Tak sabar untuk segera menikmatinya setelah prosesi ini berakhir. Mereka harus bersabar, masih banyak ritual yang harus mereka jalani.      

“Pak, setelah ini, Bapak beli tamiya lagi, ya Pak. Buat Bapak, biar Bapak bisa nemenin Danang main.” Lelaki yang berada di samping bocah itu hanya tersenyum dan mengelus kepala anaknya. Ia merasa tidak perlu untuk menjawab pertanyaan yang terlontar dari mulut anak kesayangannya itu. Entah karena geli melihat raut polos saat bocah kecil itu mengucapkannya atau lebih karena ia tak tahu bagaimana harus menjawab. Diliriknya kembali Danang. Bocah itu masih takjub dengan suguhan yang diberikan oleh arak-arakan itu.

Mbah Sholeh kembali meracik sesuatu dan merapal doa di depan pintu candi. Masih dengan posisi tegak bersila. Masih dengan mata terpejam. Hening kembali tercipta sejenak. Setelah Mbah Sholeh merasa cukup dengan doa’nya, ia memanggil nama anak berambut gimbal tersebut satu per satu.

“Danang Ardiawan!”

Danang dan bapaknya maju ke depan, mendekat ke arah Mbah Sholeh. Sebelum maju, Sarti menyempatkan untuk mencium pipi gembil anaknya itu.

Danang, pengen tamiya to? Sakdurunge dolanan, Danang kudu dipotong rambute, Nggih?” Mbah Sholeh sedikit berbasa-basi dengan Danang, supaya anak itu tidak terlalu takut atau malu menjadi tontonan warga. Danang mengangguk.

Nah, pinter. Tapi Danang mboten pareng nakal malih. Danang kan wis gedhe, isin to nek nakal?” goda Mbah Sholeh lagi. Danang tersenyum malu.

Nggih, Mbah.” Prosesi potong rambut pun dimulai. Mbah Sholeh sendirilah yang memotong rambut gimbal itu. Danang duduk tenang. Sesekali ia melirik pada rambut yang terpotong. Sehelai rambut jatuh tepat di pangkuan Danang. Bocah itu mengambilnya dan memasukkan ke dalam saku bajunya. Rupanya ia ingin menyimpan sisa rambut gimbalnya itu. Entah, mungkin sebagai kenang-kenangan, atau sekedar kebanggaan karena memiliki rambut unik itu. Rambut yang kata orang-orang dianggap sebagai pembawa berkah.

“Wis, Le. Wis resik. Sekolah sing pinter ya?” Mbah Sholeh menepuk pundak Danang. Danang dan bapaknya kembali kepada kereta kuda yang mengusung mereka, disambut dengan sorak sorai dan tepuk tangan warga yang menonton ritual itu.

Iring-iringan kembali beranjak. Tabuhan dan atraksi kesenian tradisional kembali bertalu semangat. Semangat dan rasa syukur yang sama juga dirasakan oleh Sarti dan suaminya. Mereka telah menunaikan kewajibannya atas anak mereka. Diam-diam Sarti berdoa demi keberkahan mereka semua.

Prosesi belum selesai. Mereka kembali menempuh perjalanan. Mbah Sholeh membawa bungkusan kain putih berisi potongan rambut gimbal untuk dilarung di Telaga Warna yang mengalir melalui Sungai Serayu. Sarti tak kuasa menitikkan air mata demi melihat bungkusan kain putih itu menyatu bersama aliran air yang akan membawanya ke Laut Selatan. Pun dengan berpuluh pasang mata lainnya. Dalam dada mereka tersimpan harap agar keberkahan selalu ada untuk desa tempat mereka berdiam itu.
#

“Bu, Danang masih punya rambut gimbal.” Demi mendengar pernyataan anaknya itu, Sarti terperangah. Diletakkannya irus yang tergenggam di tangannya itu. Bagaimana mungkin rambut itu bisa tumbuh lagi, sementara Danang sudah diruwat? Sarti meneliti kepala Danang, menguakkan rambutnya satu per satu hingga tampak berantakan.

“Bukan di situ, Ibu. Tapi di sini.” Danang tergelak melihat tingkah ibunya. Danang membuka genggaman tangan kanannya dan menunjukkan kepada ibunya. Di sana, sehelai rambut gimbal yang berhasil diambil Danang saat prosesi ruwatan tergeletak manis. Masih gimbal. Sarti makin terperanjat. Sebelum Sarti menyadari semuanya, Danang telah berlari ke depan dan membiarkan ibunya terduduk pucat.

“Pak, ayo, kita beli tamiya lagi untuk Bapak. Bapak sudah janji sama Danang waktu itu, kan?” Lamat-lamat Sarti mendengar suara anaknya merengek kepada bapaknya yang sedang bersantai di beranda rumah. Sarti bisa menebak rupa seperti apa yang tengah ditunjukkan suaminya saat ini.
“Danang..?” desis Sarti tak mengerti. Sayur yang tengah ia masak di atas tungku mulai mendidih mengaromakan sedap masakan.
***

*Tradisi ruwatan anak rambut gimbal yang berkembang di daerah Dieng. Cerpen ini merupakan lanjutan dari cerpen sebelumnya “Anak Bajang”.

Share this post :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Quotes

Selamat datang rekan PENULIS sekalian!

Mari biasakan menulis supaya KUALITAS tulisan kita semakin hari dapat semakin BAIK dan dikatakan "Layak di baca!" (/fiq)

Categories

Like This Blog

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2012. e-magz FLP13 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger