Musim Dingin dan Denting Piano Caresse

Butiran salju di penghujung senja menyentuh tanah, melumuri dedaunan dan bunga di perkebunan dekat pabrik-pabrik parfum. Menyulap perbukitan menjadi gundukan-gundukan putih dari kejauhan. Sepertinya musim dingin datang lebih cepat. Aku mencoba menikmati suasana ini, Grasse yang bagiku terasa cukup sepi dan dingin di malam hari, jauh dibandingkan dengan Paris. Aku tak bisa sering lagi berjalan-jalan di sepanjang kawasan Champ Elysees yang bertabur cahaya di malam hari, atau menikmati festifal seni di Museum Louvre. Sepertinya aku harus bersahabat dengan setiap jengkal kota karena aku tak tahu kapan akan dipindah tugaskan lagi ke kota yang lain.

Denting piano kembali terdengar, sepertinya dentingan yang sama dengan lima hari yang lalu ketika pertama kalinya aku menempati rumah ini.

Aku memandang keluar jendela, di hadapanku adalah hamparan indah; butiran salju yang deras menjadi tirai bagi cahaya kekuningan yang berasal dari rumah mungil di simpang jalan dan semakin jelas bahwa untaian nada melankolis itu memanglah berasal dari sana.

Pagi harinya adalah hari libur. Dengan segelas martini di tangan, di serambi mungilku, aku disambut dengan hamparan putih sisa salju semalam. Seorang wanita tua nampak keluar dari rumah di simpang jalan, menuju kotak pos di halaman rumahnya. Dia menangkap keberadaanku, lantas memperhatikanku agak lama, ”Sebelumnya aku tak pernah melihatmu, anak muda,” suaranya tak begitu jelas namun samar masih mampu kudengar.

Aku mengamatinya, dan menyadari bahwa wajahnya sepertinya tak begitu asing, “Aku baru lima hari di sini,” teriakku berharap tertangkap pendengarannya yang mungkin sudah tak begitu baik.

“Oh selamat datang di Grasse, semoga kau betah,” dia mencoba menampakkan keramahan.

Aku melangkah menyeberangi jalan dan memasuki halaman rumahnya yang sempit. “Anda yang memainkan piano semalam?”

“Benar,” katanya sambil melangkah menuju serambi, “silahkan masuk.”

Aku mengikutinya. “Saya Noel,” aku menjabat tangannya yang kurus dan keriput.

“Panggil saya Caresse .”

Aku mengamati tubuhnya lebih detail. “Sepertinya saya pernah melihat anda di Museum Louvre, Nyonya.”

Matanya berbinar, “Saya beberapa kali datang ke sana untuk melihat festifal seni.”

Ingatanku merekam kembali seorang wanita yang selalu mengenakan sweater berbulu warna abu-abu dan dengan tenang mengitari lukisan yang di pajang di auditorium Louvre. Dia mengamati lantas menyentuhnya seolah seorang kurator. Aku juga pernah melihatnya berjalan tertatih menuruni anak tangga untuk memilih kursi bagian depan dalam festifal drama. Serta pernah dua kali melihatnya duduk sendirian dengan wajah murung di depan museum.

Aku meneguk martini, belum puas mengamatinya.

“Tetapi sekarang saya sudah tak pernah datang ke sana lagi. Rasanya saya sudah semakin tua. Paris cukup jauh untuk tenaga saya,” wajahnya murung.

Aku menatapnya menunjukkan perhatian. Lantas beralih kepada beberapa kertas yang berserakan di meja ujung ruangan yang tidak begitu luas itu.

“Saya menulis surat untuk beberapa sahabat saya. Mereka ada yang di Paris, Channes, Rennes, dan tinggal di dekat Place de la concorde.”

Aku menangkap matanya yang sepi.

“Mereka adalah orang-orang hebat di waktu muda. Ada yang menjadi seniman, desainer ,penulis, musisi dan pebisnis terkenal. Saya sering iri dengan mereka.”

“Sekarang adalah waktunya anda menikmati masa tua, Nyonya Caresse.”

Deru mesin kendaraan memecah suasana. Kulihat mata tua Caresse berbinar seolah tahu siapa yang datang, lantas buru-buru berdiri. Aku beranjak membantu menuntunnya menuruni anak tangga kecil menghampiri seorang lelaki yang membawa papan besar terbungkus. “Ini ada paket dari Tuan Briand di Rennes.”

Kulihat mata Caresse masih berbinar. “Terima kasih,” senyumnya lebar menerima benda itu.

Selanjutnya dia berkisah tentang kegigihan sahabatnya, Briand yang seorang pelukis. Aku mengangguk-angguk sambil membantunya memanjang lukisan di ruang tamunya.

                                                          * * *

Senja telah beranjak, mobilku meluncur diatas jalanan yang putih tertutup salju. Sepi, hanya terlihat selaksa cahaya-cahaya kuning dari rumah-rumah yang tidaklah penuh sepanjang jalan seperti tempat tinggalku di paris dulu. Mobilku mendarat sempurna di halaman mungil rumahku.

Baru saja aku melepas sepatu, dasi dan merebahkan diri di sofa, terdengar ketukan pintu diantara riuh angin yang menerbangkan butiran salju. Aku membukanya dan setengah kaget melihat Caresse telah berdiri di depan pintu dengan kotak di tangannya. “Astaga, ternyata anda, Nyonya. Seharusnya anda berada di kamar anda yang hangat di tengah salju yang mulai deras begini.”

“Aku menunggumu sejak tadi. Aku membuat sup dan sedikit barbeque.”

“Oh, terima kasih, Nyonya. Saya tadi pulang terlambat, ada rapat mendadak. Silahkan masuk. Saya akan menyalakan perapian.”

Wanita tua itu duduk lantas merapatkan sweaternya. Aku menyalakan perapian. Kemudian melangkah ke dapur dan kembali dengan segelas cokelat hangat untuk Caresse.

“Menurutmu bagaimana lukisan Briand? Bagus bukan? Dia sangat berbakat.”

“Tapi masih kalah dengan la joconde
[1],” aku tertawa.

Caresse juga tertawa memperlihatkan gigi-giginya yang rapi. “Jangan kau bandingkan dengan itu anak muda. Oh ya, Anda sudah kuceritakan tentang kawanku yang seorang pembuat parfum terkenal? Dia salah satu dari murid Jacques Maurel.

“Ceritakan sekarang, Nyonya.”

“Dia adalah pembuat parfum yang sangat hebat. Aku ingat sewaktu remaja dia pergi dari rumahnya di ujung utara perancis, lalu bekerja di kebun bunga lantas pabrik pafum selama beberapa tahun, hingga akhirnya dia dapat kesempatan belajar membuat parfum. Tapi dia meninggal pada usia enam puluh tahun karena serangan jantung.”

“Umm, bagaimana dengan sahabat Anda yang lain?”

“Setahun yang lalu, Emily datang dengan cucu tertuanya. Dia adalah seorang penulis novel. Kau lihat deretan novel di rak buku di ruang tamuku? Beberapa adalah karyanya. Tapi sayang sekali, seminggu setelah kedatangannya dia meninggal.”

Caresse mengambil cokelatnya, meminumnya sedikit, “Mallory, adalah seorang aktivis sosial di Perancis. Dia tak punya anak juga keluarga, namun dia mempunyai beberapa buah yayasan yang menampung banyak anak di sana. Kuakui dia sangat mulia.”

Aku mendekatkan tubuhku ke perapian karena di luar salju semakin deras.

“Audric kemarin juga datang. Dia adalah musisi yang hebat, kemarin dia bilang tengah berhasil mengelola sekolah musiknya.”

Caresse terdiam memandangi api di perapian. “Bahkan hanya untuk mengunjugi festifal seni pun kini aku tak bisa.”

Aku menatapnya, membelai tangannya yang keriput “Sekarang adalah waktunya anda menikmati masa tua dengan beristirahat,” aku mengulang kembali kalimat yang pernah kukatakan.

“Anda tahu usiaku telah menginjak 70? Aku berpikir, apa yang sudah kutorehkan selama ini.”

                                                            * * *

Pagi harinya aku mendengar kembali denting piano. Untaian nada yang sama.

                                                             * * *


Footnote:
[1] Sebutan untuk lukisan Monalisa di Perancis






Purworejo, 19 Januari 2013
Cerpenis : Faizah Disavana

Share this post :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2012. e-magz FLP13 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger