Stalingard

23 Agustus 1942 

Ini memang keputusan yang telah kuambil, jangan bertanya tentang alasan mengapa aku melakukannya, karena cukup diriku yang tahu, dan bukan masalah jika memang aku tidak harus kembali esok senja. Toh, akan ada pengganti yang lebih baik dan meneruskan perjuanganku, sebuah generasi yang maju dan penuh semangat, dan aku rasa, ini tidak ada hubungannya dengan negara, aku sudah cukup bahagia karena aku telah mengenal kau, Ana. Aku akan menyusulmu. 

### 

24 Agustus 1942 

Pagi yang cerah, awan bergerak cepat ke utara sementara hembusan angin dingin yang berasal dari balik bukit yang berjarak 5 mil dari ujung landasan membuat pepohonan terlihat kaku dengan embun yang masih merekat di ujung dedaunan, disisi lain beberapa orang tengah asyik bercengkrama sembari menghisap rokoknya dalam-dalam, mengelilingi perapian yang terbuat dari drum. 

Semakin siang matahari mulai muncul, dengan enggan ia menampakkan sinarnya sedikit demi sedikit dari suatu tempat di ujung sana, dan tepat pukul delapan landasan menjadi seperti pasar, suara mesin pesawat yang bergemuruh, suara gesekan-gesekan peralatan yang dibawa terburu-buru oleh seorang mekanik. 

“Lima belas menit lagi,” kata salah seorang. 
“Cepat-cepat!” kata yang lainnya. 

Aku berdiri dari kursiku setelah menghabiskan setengah batang rokok yang masih tersisa, dan melipat sebuah koran yang barusan tadi kubaca, isinya tentang propaganda yang dilakukan Jerman terhadap Rusia, mereka telah masuk wilayah Stalingard, kota terakhir dari Rusia, aku melihat wajahku ke arah cermin, merapikan janggutku dan mencukur kumisku. 

“Sepertinya aku tampan juga,” aku tersenyum kecil. 

Tiba-tiba suara sirine berbunyi, aku langsung menyambar jaket kulit yang tergantung di pojok ruangan dan berlari ke luar, sepuluh pesawat sudah dalam kondisi siap, setiap orang yang aku lewati, mereka memberikan semangat, ada yang tersenyum, menepuk pundakku, aku masuk ke dalam kokpit dan mengeluarkan sebuah foto Ana serta bayi yang tengah digendongnya, tak lain adalah anakku, Orhan, seluruh personel siap siaga di tempatnya beberapa orang memberikan isyarat untuk segera lepas landas. 

“Pulanglah dengan selamat, Pak!” 
Aku tersenyum. Ia adalah Henry sahabatku. 
“Jangan lupa suratnya,” kataku. 
“Kau sendiri yang akan mengantarkannya.” 
Aku tersenyum untuk kedua kalinya 

Satu persatu, pesawat kami lepas landas, mereka yang di bawah bersorak sorai dan kami membalasnya dengan lambaian tangan, kami bersepuluh terbang formasi menuju sebuah pertempuran, pertempuran yang menentukan antara blok barat dan blok timur, antara tirani dan diktator. 

Untuk beberapa jam, aku masih dapat merasakan angin yang menerpa wajahku, goncangan pesawat saat melewati gumpalan awan, percakapan ringan dari para pilot, dan sebuah lembah yang terlihat hijau dengan air terjun di sebuah sisinya, aku masih dapat melihat instrumen yang berfungsi normal, tetapi dalam hatiku dipenuhi takut dan lainnya, aku mencuri pandang pada foto Ana yang terselip di antara instrumen, awan putih tebal menghadang pada jarak yang cukup dekat, pandanganku kabur tertutup gumpalan kapas besar, sebelum akhirnya dataran yang dipenuhi lubang-lubang hitam berukuran besar. 

Stalinggard, sebuah pesawat muncul dari balik awan menukik tajam setelah sebelumnya ia bermanuver, pesawat berwarna abu-abu gelap dengan simbol bintang berwarna merah, Uni Soviet, ia memuntahkan pelurunya mengincar salah satu dari kami, dengan sigap aku bermanuver, melakukan rolling ke kiri dan menukik ke atas untuk memotong pergerakan musuh,, untuk beberapa saat terjadi dog fight, setelah berkelit terlalu lama, aku menurunkan ketinggian hingga hanya berjarak 20 kaki dari tanah, sebuah menara besar menghadang di depan, tanpa ampun ia menembaki pesawatku terus menerus, lolos dari menara, aku menjauh dari dataran dan aku bisa melihat laut di bawahku, akhirnya aku bisa melihat sayap bagian kiriku terbakar dan beberapa instrumen rusak. Di saat seperti itu aku teringat Ana, hampir-hampir aku bisa melihatnya di depanku, ia tersenyum dan mengulurkan tangannya, seperti ingin mengajakku pergi ke suatu tempat, tempat yang indah, dipenuhi ladang hijau subur dengan tempayan-tempayan yang dipenuhi air jernih, serta paviliun degan ukiran-ukiran indah.aku memejamkan mata. 

### 

Seperti sebuah film kenangan itu muncul, senja yang dingin hanya bersuhu 15° C, dengan memakai pakaian hangat dan syal yang melilit di leher untuk mengusir dingin kau menunggu kedatanganku selama berjam-jam. Saat itu aku baru saja lulus, masih memakai pakaian dinas. Aku mencopot topiku dan melambaikannya, kau bangkit dari dudukmu dan menghampiriku. Aku masih ingat ketika itu, dimana burung-burung iri melihat tingkah kita. Mereka memalingkan wajah mereka dan berhenti bersiul. Pohon-pohon yang kedinginan terhangatkan karena cinta kita. Aku teringat sebuah ayat Al-Qur’an yang diajarkan seorang muslim kepadaku ayat yang sangat indah “Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli, laksana mutiara yang tersimpan baik.”(Al-Waqi’ah: 22-23). Aku tertarik pada agama Islam, setelah perang ini aku akan memperdalamnya. 

Kau terpaku saat mendengar ayat itu, dan kita melewati malam yang indah. 

### 

Aku tersadar kembali, kerusakannya makin parah, beberapa instrumen tidak berfungsi, kebakaran makin hebat di bagian sayap, aku berusaha membuka kanopi tapi sia-sia. Macet. Aku langsung menarik pistol dari balik bajuku dan menembak kanopi berkali-kali untuk membuka celah, kejadian ini berlangsung cepat, aku memukul bagian yang telah berlubang, dan semakin besar hingga cukup untuk keluar, tetapi sia-sia, benturan keras. 

Hitam. 

Aku kembali pada kenangan ketika segerombolan tak dikenal mendatangi rumahku dan merusak kehidupanku. 

“Namamu Erich Hartmann?” kata seorang pria dari balik kain hitam yang menutupi wajahnya 
“Ya, dan lepaskan istriku, kurang ajar!” kataku. 
Ana terlihat kesakitan, tetapi dengan kuat ia memeluk Orhan anakku. 

Ia memukulkan popor senapannya kebagian bahuku, hingga darah merembes ke bajuku, tak berhenti sampai di situ ia mengaitkan lenganku dan menggantungku di sebuah gudang di lantai dua, jerit tangis terdengar dari luar. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya menangis. Beberapa saat kemudian teriakan itu berhenti. 

### 

Aku tersadar air laut telah membanjiri kokpit, hanya beberapa sentimeter lagi air laut akan menelan tubuhku, air yang sangat dingin menusuk luka-lukaku yang terbuka, dengan tenaga yang masih tersisa aku keluar dan mencari bagian-bagian yang dapat mengapung, bayangan itu muncul lagi. Ana tersenyum padaku. 

“Belum Erich, bukan sekarang….kuatkan dirimu?” 
Aku tersadar. Sebuah kapal besar, tepat berada di sampingku. 
“Angkat dia,” kata seseorang. 


### 



Seminggu kemudian, setelah aku keluar dari rumah sakit, pagi-pagi sekali aku mengunjungi taman dan duduk disebuah bangku, aku membuka suratku yang aku kira sebagai wasiat terakhirku, surat itu sudah lusuh tetapi masih dapat terbaca. 


Minggu, 10 september 1954 

Ini memang keputusan yang telah kuambil, jangan bertanya tentang alasan mengapa aku melakukannya, karena cukup diriku yang tahu, dan bukan masalah jika memang aku tidak harus kembali esok senja. Toh, akan ada pengganti yang lebih baik dan meneruskan perjuanganku, sebuah generasi yang maju dan penuh semangat. Aku rasa, ini tidak ada hubungannya dengan negara, aku sudah cukup bahagia karena aku telah mengenal kau, Ana. Aku akan menyusulmu. 

Aku merobek-robek surat itu, dan membuangnya. 

“Masih banyak yang harus kulakukan, di sini. Ya, di sini.” 

Henry datang dari jauh, membawa sekantung plastik, ia memberikan senyumnya dan melambaikan tangannya. 

“Hormat, Pak! Selamat pagi!” katanya dengan gurau. 
“Aku memukulnya pelan.” 


### 


Pada tanggal 30 Januari 1943 Tentara Merah di bawah pimpinan Marsekal Georgy Zhukov melancarkan serangan umum ke Stalingrad dan dengan cepat menggulung pasukan Poros yang sudah kelelahan dan menderita kelaparan dan penyakit. Dua hari kemudian, Marsekal Friedrich von Paulus dan 90.000 prajuritnya yang tersisa menyerah


Para sejarawan menilai kekalahan Jerman di Stalingrad merupakan awal dari kejatuhan Nazi. Hingga kini pertempuran ini dianggap sebagai pertempuran terbesar dan paling berdarah dalam sejarah manusia. Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai tiga juta jiwa. 





Terinspirasi oleh
Erich Alfred "Bubi" Hartmann (19 April 1922-20 September 1993), yang juga mempunyai julukan "The Blond Knight Of Germany" bagi para koleganya dan “The Black Devil" bagi para musuhnya di udara. Hartmann merupakan salah satu fighter-ace yang paling sukses dalam sejarah aerial combat. Total klaimya adalah 352 pesawat musuh dalam 825 combat sortie. Selain itu Hartmann juga mengalami 14 kali crash landing sepanjang karirnya di Perang Dunia II. 

Hartmann dilahirkan di Weissach, Wurttemberg. Masa kecilnya banyak dihabiskan di Timur Jauh karena ayahnya yang dokter bekerja di Cina. Hartmann kembali ke Jerman tahun 1928, dan mulai mengikuti training untuk menjadi pilot. Tahun 1936 Hartmann memperoleh lisensi pilotnya dan memulai pendidikan di Luftkriegsschule II di akhir tahun 1940. 

Tahun 1941 Hartman memperoleh wing-nya dan ditugaskan ke unit fighter Jagdgeschwader 52 pada bulan Oktober 1942. JG 52 merupakan fighter unit yang ditempaktkan di front Timur (Soviet) dan diperlengkapi dengan Messerschitt Bf-109G. 


Cerpenis : Luqman Al-Hakim
Share this post :

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2012. e-magz FLP13 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger